Persoalan mendasar pendidikan perlu diperdebatkan agar diperoleh solusi jernih dan rasional, bukan sekedar lontaran jargon, janji-janji manis, dan solusi absurd yang tidak bisa diterapkan di lapangan. Debat ketiga Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) menjadi momen untuk menguji komitmen pendidikan mereka.
Ada 3 persoalan fundamental pendidikan yang menjadi tantangan Capres dan Cawapres. Pemahaman mendalam akan kegawatdaruratan persoalan, pemikiran rasional argumentatif didukung bukti-bukti yang meyakinkan, dan solusi rasional objektif yang bisa dipahami publik, sangat dibutuhkan di tengah perdebatan yang cenderung jatuh pada model argumentum ad hominem (menyerang orangnya, bukan argumennya), dan simplifikasi tanpa argumentasi. Tiga persoalan itu adalah sebagai berikut:
Pemelajaran Otentik
Pertama, kualitas pemelajaran otentik. Pertanyaan dasarnya adalah bagaimana Capres dan Cawapres mendesain kebijakan pendidikan nasional yang efektif mengembangkan kultur pemelajaran otentik, agar peserta didik dapat bertahan hidup dan bersaing di tengah tantangan global dan revolusi industri 4.0?
Kualitas pemelajaran anak-anak kita tidak otentik karena sistem kurikulum kita saat ini mengunci proses pemelajaran dan pengajaran yang mematikan kreativitas dan inovasi. Kurikulum membebani pendidik dan peserta didik dengan banyak mata pelajaran (terutama untuk Sekolah Dasar), luasnya isi materi pemelajaran, sehingga tidak memiliki prioritas apa yang dianggap penting dalam setiap tahapan proses pendidikan. Kurikulum saat ini membebani guru dengan bejibun administrasi, sehingga tidak fokus mengajar.
Sekolah terbebani pemenuhan 8 Standar Pendidikan Nasional yang tidak semuanya terkait dengan fokus pemelajaran otentik yang menjadi hasil pendidikan. Disparitas kualitas pendidikan antara pusat dan daerah masih tinggi.
Situasi ini diperparah dengan rendahnya kualitas guru. Ada 491.000 guru yang belum memenuhi kualifikasi Sarjana Strata-1, 736.000 guru honorer dengan kualitas pas-pasan yang terkatung-katung nasib dan pengabdiannya selama ini. Mereka ini selalu khawatir esok akan makan apa. Dari sisi penyediaan calon guru, saat ini ada sekitar 1,3 juta calon guru, yang tersebar di lebih dari 300 Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) yang kualitasnya sebagian besar memprihatinkan, yang meluluskan rata-rata 250.000 calon guru setiap tahun, sementara kuota lapangan kerja terbatas. Guru pensiun diperkirakan sekitar 75.000 per tahun. Gambaran menjadi pengangguran sudah jelas terbayang dari lulusan LPTK ini.
Dari sisi penilaian, sistem penilaian kita sangat gelojoh dengan standarisasi, menjadikan individu bagaikan hasil produk industri yang ditera dengan standar yang sama, melalui Ujian Nasional (UN), Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), sistem Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang menjadikan kita tidak bisa melihat lagi secara objektif mana siswa cerdas mana siswa yang kurang cerdas, karena secara minimal mereka akan memperoleh nilai yang sama dalam rapor, sehingga objektivitas nilai tidak ada lagi. Kebijakan KKM juga menghapus konsep kecerdasan plural karena seolah tiap anak harus memiliki kecerdasan minimal dalam bidang-bidang tertentu. Ini jelas melawan kodrat manusia.
Era Revolusi industri 4.0 harusnya membuka mata kita untuk segera merevisi Kurikulum 2013. Apa kata dunia, bila kita sudah hidup di tahun 2019, sementara kita mempergunakan Kurikulum 2013? Kesan ketertinggalan inilah yang akan kita punya! Lebih dari sekedar ganti nama, Kompetensi Dasar dalam Kurikulum 2013 juga belum mempersiapkan anak-anak kita menghadapi tantangan pendidikan era Revolusi Industri 4.0.
Ini adalah tantangan pertama Capres dan Cawapres untuk meningkatkan kualitas pemelajaran otentik anak-anak Indonesia demi masa depan.
Visi Kebinekaan
Kedua, pilpres telah memecah belah persatuan atas nama kepentingan politik. Politik identitas mengancam kebinekaan bangsa. Hoax dan ujaran kebencian bertebaran di media sosial dan dunia maya. Indonesia yang bineka akan sulit bertahan bila politik identitas yang dimainkan kedua Capres dan Cawapres memolarisasi kelompok-kelompok berdasarkan kepentingan. Rusaknya kebinekaan, munculnya gerakan intoleran dan radikal menjadi ancaman serius pendidikan kita. Bagaimana Capres dan Cawapres mendesain kebijakan pendidikan yang memperkuat kebinekaan, mengokohkan persatuan, menghargai perbedaan demi Indonesia yang damai dan sejahtera?
Ancaman atas ideologi dan identitas kebangsaan adalah nyata. Sejak sepuluh tahun terakhir, muncul gejala sekolah-sekolah menengah atas negeri menjadi pusat penyemaian intoleransi, eksklusivitas, anti-pancasila, anti-kebinekaan, bahkan kekerasan dalam berbagai bentuknya (Farha Ciciek : 2008; MAARIF Institute : 2011). Penelitian Setara Institute pada 2015 cukup mencengangkan. Pasalnya, 7,6% pelajar di DKI Jakarta dan di Bandung setuju dengan ideologi dan sepak terjang ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah). Riset ini juga mengungkap bahwa 8,5% dari 684 responden pelajar, setuju untuk mengganti dasar negara Pancasila dengan agama tertentu.
Pengalaman penulis membantu gerakan Deradikalisasi untuk guru dan Kepala Sekolah di BNPT pada 2014 menunjukkan bahwa intoleransi dan radikalisme itu bisa berawal dari pucuk pimpinan di satuan pendidikan, yaitu Kepala Sekolah. Bahkan, ada indikasi beberapa LPTK menularkan paham intoleran dan radikal.
Pada 2016, Setara Institute menggelar survei toleransi pelajar Indonesia dengan melibatkan 760 responden pelajar SMA negeri di Jakarta dan Bandung, Jawa Barat. Survei ini menyimpulkan bahwa 35,7% siswa memiliki paham dan pemikiran intoleran, 2,4% menunjukkan sikap intoleran dalam tindakan dan perkataan, serta 0,3% berpotensi menjadi teroris.
Riset ini harusnya menjadi tanda mulai gawat daruratnya persoalan kebinekaan di negeri kita. Bangsa ini tidak akan bertahan bila generasi mudanya dijejali dengan politik identitas, yang memiskinkan wawasan kebangsaan, dan mengeringkan spiritualitas yang menjadi sumber kekayaan rohani bangsa ini.
Prioritas Anggaran
Ketiga, fokus prioritas anggaran pendidikan. Bagaimanapun juga, anggaran pendidikan adalah sarana utama berjalannya setiap kebijakan pendidikan. Bagaimana Capres dan Cawapres mengelola, mengawal, anggaran pendidikan yang tersebar di banyak kementerian, dan hampir 63 persennya ditransfer ke daerah, sementara Otonomi Daerah justru menjadi ruang untuk menyelewengkan dana-dana pendidikan karena proses kepemimpinan daerah masih banyak diwarnai proses politik yang tidak sehat, sehingga memungkinkan politisasi kepala sekolah dan guru, yang akan mengganggu stabilitas kebijakan pendidikan?
Kita tidak dapat hanya mengandalkan keterpilihan Kepala Daerah yang memiliki komitmen kuat pada dunia pendidikan untuk menyelamatkan anggaran dan meningkatkan kualitas pendidikan di daerah, melainkan harus mendesain sebuah sistem kebijakan pendidikan yang memungkinkan Daerah menjadi pelaku utama peningkatan kualitas pendidikan, karena merekalah yang persis memahami persoalan pendidikan di daerahnya, mengembangkan sistem anggaran keuangan yang yang akuntabel dan transparan, serta memberdayakan aparat daerah agar pendidikan daerah menjadi kunci kemajuan.
Apa yang bisa ditawarkan oleh Capres dan Cawapres untuk mengatasi persoalan ini? Saya berharap, dalam debat nanti, kedua Capres dan Cawapres membahas persoalan fundamental ini dan memberikan argumentasi rasional objektif sebagai solusi yang dapat dipahami publik, jauh dari jargon-jargon, retorika kosong, kalimat klise, dan janji-janji manis yang tidak mencerdaskan.
Doni Koesoema A. Pemerhati pendidikan