Gagasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy, tentang sekolah seharian perlu dilihat sebagai bagian dari strategi pengembangan pendidikan karakter utuh dan menyeluruh. Terlepas dari pro-kontra istilah yang digunakan, Mendikbud telah berhasil mengajak publik untuk berpikir, berbicara, dan berpendapat. Ini dinamika pendidikan yang sehat.
Anies Baswedan, Mendikbud sebelumnya, telah memulai strategi pembentukan karakter ini dengan usaha-usaha sederhana namun memiliki dampak jangka panjang yang baik, seperti wajib membaca 15 menit buku-buku non-pelajaran sebelum kelas dimulai, menyanyikan lagu-lagu nasional pada awal dan akhir pelajaran, serta tegas mengatur kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) dengan format yang lebih positif dan edukatif, melarang dan menghindari kegiatan yang mempergunakan atribut aneh-aneh, dan bahkan cenderung melecehkan martabat individu, baik secara fisik maupun psikologis.
Wacana belajar seharian yang disampaikan Mendikbud Muhadjir berawal dari keinginan untuk menerapkan janji Nawacita untuk melakukan revolusi karakter bangsa secara lebih efektif. Ini selaras dengan apa yang sudah dimulai Anies Baswedan. Hingar bingar komentar di media cetak, elektronik, sosial perlu dibaca sebagai ruang bagi pelibatan publik untuk memberikan masukan tentang strategi pendidikan karakter efektif di lingkungan pendidikan, apakah itu melalui pendidikan dengan model belajar sepanjang hari sampai sore, atau dengan cara dan pendekatan lain.
Memiliki perspektif, pendekatan dan strategi yang kaya tentang penerapan pendidikan karakter di lingkungan pendidikan kiranya sangat dibutuhkan dalam mengelola pendidikan nasional. Sekolah kita memiliki konteks geografis, sosial, budaya dan latar belakang ekonomi orang tua siswa yang berbeda. Karena itu, mendesain dan menyediakan berbagai alternatif pengembangan pendidikan karakter merupakan sebuah keniscayaan. Kebijakan pendidikan yang sifatnya satu untuk semua jelas tidak realistis.
Di sinilah pentingnya menggodok dan mendesain kebijakan pendidikan yang efektif dan kontekstual sesuai dengan kebutuhan masing-masing lembaga pendidikan tanpa kehilangan visi pembentukan karakter anak-anak bangsa seperti cita-cita dalam Nawacita.
Salah Konsepsi
Bila kita berbicara tentang pendidikan karakter, saya seringkali menemukan adanya salah konsepsi. Pendidikan karakter banyak dipertentangkan dengan pengajaran akademis. Ini merupakan kesalahan konseptual fatal yang bila diikuti akan melahirkan praksis pendidikan karakter yang keliru. Lebih fatal lagi, pengembangan akademis (intrakurikuler) seringkali juga dipertentangan kegiatan ektrakurikuler, seolah-olah kegiatan di luar kelas lebih membentuk karakter ketimbang pembelajaran di dalam kelas. Karena itu muncul istilah “lebih baik anak saya nilainya jelek daripada karakternya buruk”. Ini sebuah pilihan yang sesungguhnya sama-sama tidak mendidik.
Pendidikan karakter, bila dipahami secara utuh dan menyeluruh, mengintegrasikan seluruh momen pendidikan, baik di dalam kelas maupun di luar kelas, sebagai sarana efektif bagi pembentukan karakter siswa sebagai pembelajar. Lembaga pendidikan memberikan prioritas utama pada pengembangan karakter individu sebagai pembelajar otentik dan bertanggungjawab. Bila spirit dan pengalaman ini terbentuk, karakter lain seperti tanggungjawab, daya juang, cinta pada kebenaran, keberanian dan menghargai perbedaan akan terbentuk dengan sendirinya.
Konsepsi pendidikan karakter yang utuh tidak membagi-bagi persentase kegiatan, seperti misalnya 80 persen pendidikan SD untuk pembentukan karakter dan 20 persen untuk pengetahuan. Pembobotan seperti ini, yang diterjemahkan sebagai 20 persen pengajaran di kelas dan 80 persen kegiatan di luar kelas jelas tidak merepresentasikan kegiatan nyata proses pendidikan itu sendiri. Dalam pengajaran di dalam kelas, kita bisa sekaligus membentuk karakter dan memperkaya ilmu sesuai pembobotan tadi. Demikian juga dengan kegiatan di luar kelas.
Evaluasi utuh
Sebagai sebuah strategi, desain pendidikan karakter perlu menukik dan menganalisis pada tiga basis yang menjadi momen edukatif pendidikan, yaitu berbasis kelas, kultur sekolah dan komunitas.
Menerapkan revolusi mental dalam Nawacita melalui pendidikan perlu memperhatikan momen-momen edukatif ini. Konsep belajar sepanjang hari yang digagas Mendikbud perlu dilihat dalam kerangka sejauh mana momen-momen edukatif ini telah dievaluasi dan dipergunakan pendidik dalam membentuk karakter siswa. Evaluasi utuh ini meliputi tiga hal.
Pertama, kegiatan belajar mengajar di dalam kelas. Prioritas utama pembentukan karakter dalam momen ini adalah membentuk individu menjadi pembelajar otentik sepanjang hayat. Sejauh mana para pendidik telah mempersiapkan materi pembelajaran dan menemukan di mana momen-momen pembentukan karakter bisa digunakan pada saat pembelajaran? Momen ini bisa terkait dengan isi materi pembelajaran, metodologi pengajaran yang dipakai, cara mengelola kelas, dan mendesain evaluasi pendidikan. Bila momen ini diterapkan dengan efektif, momen pembelajaran di dalam kelas dapat menjadi sarana yang efektif untuk membentuk karakter peserta didik. Intinya, buatlah siswa menjadi pembelajar otentik, niscaya karakter lain akan terbentuk dalam dirinya.
Kedua, kegiatan ektrakurikuler di luar kelas. Momen di dalam kelas seringkali memiliki corak relasional terbatas, karena berfokus pada isi materi, metode dan peserta dalam pembelajaran terbatas. Sebaliknya, pembentukan karakter dalam kegiatan ekstrakurikuler mengarahkan pada corak relasi yang lebih kaya, mengatasi ruang-ruang kelas, berupa pengembangan keterampilan, minat, bakat dan kemampuan siswa, dalam bidang olah raga, seni, budaya, kelompok-kelompok diskusi, jurnalistik, dan berbagai macam peminatan dan pengembangan bakat lain. Apakah kegiatan-kegiatan di luar kelas ini sungguh telah dimaksimalkan sebaik mungkin dengan mempergunakan fasilitas yang relevan dan efektif dengan pendampingan yang terarah pada pembentukan karakter?
Ketiga, kolaborasi antara sekolah dengan rumah dan masyarakat. Pendidikan karakter merupakan urusan semua orang. Ini akan efektif bila ada kolaborasi antara sekolah dan rumah, antara lembaga pendidikan dan masyarakat sekitar lingkungan. Sejauh mana sekolah telah melibatkan komunitas-komunitas di luar sekolah untuk membantu para siswa dalam pembentukan karakter, entah itu melalui kegiatan sosial, seni, budaya dan olah raga, melalui kompetisi maupun kolaborasi?
Tiga hal ini seharusnya menjadi dasar bagi lembaga pendidikan untuk menentukan apakah mereka perlu memperpanjang alokasi waktu siswa berada di sekolah atau tidak. Yang paling memahami dinamika pendidikan di unit terkecil sekolah adalah para guru, siswa dan orang tua. Beberapa hal yang perlu dilakukan oleh Kemendikbud bila ingin menawarkan strategi pembentukan karakter efektif.
Pertama, meningkatkan kualitas layanan, baik itu pengayaan pengetahuan dan peningkatan keterampilan, di mana momen-momen pendidikan (di kelas, di luar kelas, dan di komunitas) bisa dimaksimalkan.
Kedua, membuat pedoman untuk evaluasi diri sekolah apakah mereka perlu memperpanjang waktu bersekolah atau tidak, berdasarkan prinsip-prinsip dan indikator yang jelas dan dapat dipahami unit sekolah.
Ketiga, tidak memaksakan penyeragaman, melainkan mendukung inovasi-inovasi baru yang sudah menjadi best practices di sekolah-sekolah.
Indonesia yang bhinneka tidak dapat dikelola dengan satu kebijakan pendidikan sama untuk semua. Strategi pendidikan karakter efektif mempersyaratkan dibukanya ruang-ruang bagi inovasi, kreasi, partisipasi publik dan penguatan sistem yang sudah ada melalui pengembangan kapasitas para pendidik. Dinamika pendidikan yang sehat dibutuhkan untuk lahirnya inovasi strategi pendidikan karakter berkelanjutan.
Doni Koesoema A. Pemerhati pendidikan dan Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong.
Opini dimuat di Harian Kompas, Senin, 29 Agustus 2016