Nadiem Makarim memperkenalkan jargon dengan kata penggerak untuk mentransformasi pendidikan, mulai dari guru penggerak, sekolah penggerak, dan organisasi penggerak.  Asumsinya, berbagai macam gerakan ini akan mempercepat transformasi pendidikan. Sekedar bergerak tanpa tujuan yang jelas bisa menyesatkan. Apalagi kalau yang bergerak hanya elitenya saja.

Transformasi, menurut Nadiem, dimulai dari guru. Dari berbagai penjelasannya di media, sambutan, dan dialog di hadapan publik, yang dimaksud guru penggerak adalah pendidik yang memiliki kompetensi dan pengetahuan pada tingkat mahir pada bidang yang diampunya. Ia dapat membimbing dan melatih guru-guru lain. Kepala Sekolah harus diangkat dari guru penggerak agar menjadi sekolah penggerak.

Guru Pelatih

Dalam beberapa kali pertemuan antara Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dengan Mendikbud, Nadiem selalu menegaskan bahwa guru hanya bisa dilatih oleh guru. Guru hanya bisa dilatih oleh mereka yang piawai dan berpengalaman sebagai guru. Dengan konsep inilah, Nadiem membuka terobosan format pelatihan guru yang dibuka pada lembaga non Perguruan Tinggi (PT) untuk melatih guru yang ia sebut sebagai organisasi penggerak. Ini adalah organisasi masyarakat yang bergiat di pelatihan dan pengembangan guru.

Selama ini, beberapa sistem pelatihan guru, misalnya untuk Pendidikan Profesi Guru (PPG) dipercayakan pada PT yang mengelola Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Pelatihan oleh LPTK mungkin dianggap terlalu teoretis, kurang relevan dengan kebutuhan, dan tidak efektif karena diajar oleh para dosen yang dianggap kurang mengenal dinamika dan kompleksitas kelas. Pelatihan oleh PT dianggap kurang mampu melahirkan guru penggerak.

Pernyataan bahwa guru hanya bisa dilatih oleh guru berpengalaman bisa dipahami dengan baik bila diletakkan dalam konteks praktik mengajar sebagai ilmu terapan. Asumsinya, kemahiran guru hanya dapat terbentuk dari kumpulan pengalaman yang direfleksikan secara terus menerus (Moon, 2005).

Memberi prioritas pada ilmu terapan tidak berarti abai terhadap peranan akademia yang merupakan domain Perguruan Tinggi. Para professor di universitas mungkin bisa saja terlalu fokus pada teori ketimbang praktik saat melatih guru. Namun, benar juga bahwa para professor di universitas, karena pengalaman akademiknya, memiliki keistimewaan dalam teori sebagai akademia (Murphy, 2007).

Karya para akademisi memang cenderung lambat, hati-hati, melalui pendekatan sistematik berbasis bukti ilmiah berdasarkan pendekatan yang telah dibangun oleh para sarjana sebelumnya dan bertanggungjawab menunjukkan keterbatasan-keterbatasan praktik dan daerah abu-abu. Sebaliknya, para pengambil kebijakan, praktisi dan guru cenderung mengutamakan pengetahuan yang dapat secara langsung menyelesaikan persoalan jangka pendek. Akibatnya, “intisari pengetahuan yang dapat diterapkan secara langsung lebih diutamakan daripada persoalan yang membutuhkan refleksi dan studi jangka panjang (Kochan, et al. 2002: 290, Black & Haines, 2018).

Trial and error dalam pengajaran memang bisa membawa kemajuan, namun tidak akan mendalam karena tidak disertai pengalaman merefleksikan praktik dalam terang teori pendidikan yang kokoh. Padahal, bila diperkaya dengan pemahaman teori yang kokoh, berdasarkan hasil riset dengan metode yang rigor, inovasi pembelajaran akan kuat, dapat digeneralisasi sehingga lebih mudah dibagikan. 

Menjembatani dua domain antara teori dan praktik untuk transformasi pendidikan sangatlah fundamental. Karena itu, Perguruan Tinggi tetap memiliki fungsi kritis dan strategis dalam transformasi pendidikan. menisbikan peranan PT dalam pengembangan profesional guru, dan lebih mempercayakan pada organisasi penggerak yang tidak jelas kompetensi dan keahliannya akan membahayakan kinerja pendidikan. Menjembatani antara Universitas dan Kelas tentu merupakan opsi yang lebih menjanjikan, daripada membuka peluang pada organisasi non-PT yang secara praktik dan teori kredibilitasnya dipertanyakan.

Tim Elite

Kelemahan mendasar konsep guru penggerak adalah sifatnya yang elitis. Mereka inilah yang pantas menjadi Kepala Sekolah agar sekolahnya menjadi sekolah penggerak karena kemampuannya menjadi pemimpin instruksional.

Konsep Kepala Sekolah sebagai pemimpin instruksional sebenarnya sudah muncul sejak awal tahun 80-an ketika era standarisasi dan akuntabilitas semakin kuat muncul di Amerika Serikat (Edmonds, 1979;  Leithwood & Montgomery, 1982). Konsep ini muncul seiring diperkenalkannya kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang memberikan otonomi sekolah dalam mengelola pembelajaran.

Konsep Nadiem tentang Kepala Sekolah sebagai pemimpin instruksional masih fokus pada pemimpin instruksional dalam arti sempit (Sheppard, 1996). Meskipun, di kalangan akademisi belum ada kesepakatan tunggal tentang definisi pemimpin instruksional, para pendukung konsep ini memahami kepemimpinan instruksional sebagai keberadaan pemimpin sekolah yang membimbing para guru agar terlibat dalam aktivitas yang secara langsung memengaruhi pembelajaran dan perkembangan peserta didik (Davidson, 1992; Duke, 1987; Leithwood et al., 1999; Marzano et al., 2005). Sedangkan dalam arti luas, konsep ini mengacu pada pada semua kegiatan yang dilakukan Kepala Sekolah yang berkontribusi pada pemelajaran siswa (Donmoyer and Wagstaff, 1990).

Sejak tiga dekade lalu, model kepemimpinan instruksional dalam arti sempit, berfokus pada kegiatan belajar di kelas semata mulai dipertanyakan efektivitasnya dan mendapatkan banyak kritik. Apalagi era standarisasi telah meredusir kegiatan instruksional pada parameter keberhasilan melalui ujian standar. Ironisnya, di Indonesia, ujian standar seperti Ujian Nasional dihapuskan, tapi kita malah terjebak pada ujian standar global PISA sebagai acuan keberhasilan tujuan pembelajaran. Ini meredusir tujuan besar pendidikan nasional.

Faktanya, peranan Kepala Sekolah dalam meningkatkan prestasi belajar ternyata tidak seperti yang dikira sebelumnya. Marzano, et al. (2005) misalnya, menemukan bahwa peranan Kepala Sekolah dalam konteks peningkatan prestasi siswa porsinya hanyalah 25 persen saja. Ini berarti, 75 persen kegiatan Kepala Sekolah tidak terkait langsung dengan kegiatan instruksional, misalnya penguatan motivasi guru, penciptaan kedisiplinan sekolah, pengembangan profesi guru, kolaborasi dengan orang tua dan masyarakat, serta pengembangan budaya sekolah menciptakan iklium pemelajaran yang ramah dan nyaman.

Keberhasilan pendidikan bukanlah monopoli peranan Kepala Sekolah semata. Banyak riset kemudian menemukan faktor-faktor lain yang juga berpengaruh, seperti gaya kepemimpinan terbagi (shared leadership), kepemimpinan guru (teacher leadership), kepemimpinan terdistribusi (distributed leadership), dan kepemimpinan transformasional (transformational leadership).

“Munculnya model-model ini mengindikasikan adanya ketidakpuasan yang semakin besar pada model kepemimpinan instruksional yang dipercaya banyak orang terlalu terfokus pada Kepala Sekolah sebagai pusat keahlian, kekuatan, dan kekuasaan,” (Hallinger, 2003, 330; Stewart, 2006).

Kelemahan utama model kepemimpinan instruksional adalah pendekatan top-down (Urick, 2012), hanya ada satu lakon dan pahlawan, yaitu Kepala Sekolah. Faktanya, kepemimpinan di sekolah sifatnya menyebar dan ada di mana-mana (Sergiovannie, 1994, 2001) dan tidak bisa ditumpukan pada seorang Kepala Sekolah saja (Rajbhandari, 2014). Dengan kata lain, model kepemimpinan instruksional yang terpusat dan elitis ini sudah tidak memadai lagi.

Alternatif Transformasi

Alih-alih mencari guru penggerak untuk diangkat sebagai Kepala Sekolah, ada alternatif lain untuk transformasi pendidikan, yaitu melalui guru pemimpin dan mengembangkan pembiasaan merefleksikan praktik (reflexive practice) dalam kebersamaan komunitas sekolah (Gibbs, 1998; Moon, 2005). Meskipun sama-sama bisa disebut sebagai pemimpin sekolah (school leader), konsep guru pemimpin sangat berbeda dengan guru penggerak.

York-Barr dan Duke’s (2004) mendefinisikan kepemimpinan guru (teacher leadership) sebagai sebuah proses melalui mana para guru, baik secara individual dan kolektif, memengaruhi sesama guru, Kepala Sekolah, dan anggota komunitas sekolah lain untuk memperbaiki praktik pengajaran dan pemelajaran yang tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas belajar dan prestasi siswa. Konsep guru pemimpin lebih luas dan lebih strategis daripada sekedar guru penggerak ala Nadiem.

Lebih dari itu, dalam perjalanan karirnya, tidak semua guru ingin menjadi Kepala Sekolah. Tidak semua guru mahir tertarik pada jabatan ini. Guru mahir yang dihargai dengan instentif dan remunerasi setara dengan Kepala Sekolah sudah merupakan apresiasi yang luar biasa. Tidak semua guru ingin berkarir sebagai Kepala Sekolah. Memaksa guru menjadi Kepala Sekolah bisa kontraproduktif.

Kepemimpinan pada hakikatnya adalah tanggapan seorang pemimpin pada persoalan kontekstual sehingga tujuan organisasi tercapai. Kemampuan memahami konteks dan merefleksikan praksis pendidikan kunci penting transformasi.

Berhadapan dengan situasi yang kompleks, tidak pasti, selalu berubah, dan ambigu, yang perlu diperkuat adalah peranan masing-masing pelaku. Karena itu, model kepemimpinan pendidikan yang tersebar (distributed leadership) yang didukung oleh sikap reflektif terhadap praksis akan lebih efektif. Masing-masing individu perlu belajar memahami situasi untuk menjawab persoalan melalui evaluasi dan refleksi secara terus menerus agar menemukan jalan-jalan terbaik dalam kebersamaan dengan seluruh warga sekolah demi tercapainya tujuan besar pendidikan. Pekerjaan besar ini tidak cukup bila hanya mengandalkan kehadiran guru penggerak, Kepala Sekolah sebagai pemimpin instruksional, dan organisasi penggerak.

Sekolah bukan milik guru penggerak, juga bukan kepunyaan Kepala Sekolah penggerak saja, apalagi organisasi penggerak. Transformasi pendidikan hanya mungkin bila ada keyakinan bahwa masing-masing individu mampu menjadi pemimpin. Dan setiap pemimpin belajar dari kepemimpinan orang lain melalui dinamika kehidupan kontekstual dalam keseharian di sekolah. Elitisme pendidikan tidak akan mampu mempercepat pencerdasan kehidupan bangsa.

Doni Koesoema A. Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan Periode 2019-2023

Artikel dimuat di Harian Kompas, 10 Juli 2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *