Jakarta, pendidikankarakter.org Membangun kepercayaan diri anak merupakan salah satu sikap fundamental dalam diri individu agar mereka dapat membangun harga dirinya ketika dia berada bersama orang lain. Bagaimana mendampingi anak-anak yang termarginalkan untuk memperoleh kembali kemartabatan mereka?

Bincang Sejiwa #4 menumbuhkan karakter dan kebajikan membahas secara khusus bagaimana kita dapat membangkitkan kepercayaan diri anak. Hadir dalam bincang santai ini Bhayu Kusuma, Ketua Yayasan Dilt Foundation. Acara dipandu oleh Wuri Ardianingsih dari Yayasan Sejiwa.

Dilt Foundation merupakan organisasi sosial yang bergiat di bidang pendidikan dan kesehatan untuk anak-anak marginal, khususnya yang berada di area Pasar Minggu. Yayasan ini telah melakukan pendampingan dan layanan pada anak-anak termarginalkan sejak 1996, melalui layanan kesehatan, pendidikan, dan pembardayaan.

“Anak-anak kami fasilitasi melalui rumah tinggal dengan berbagai macam kegiatan, seperti kegiatan akademis belajar bahasa Inggria. Kami juga melatih anak-anak agar percaya diri melalui teater dan kegiatan seni yang lain. Kami melayani anak-anak sesuai dengan bakat dan karakternya. Sebab karakter anak itu berbeda-beda,” ujar Bhayu.

Menanggapi hal ini, Doni Koesoema A, pemerhati pendidikan mengatakan bahwa anak-anak, di manapun mereka berada, baik di jalanan maupun di tempat lain, adalah anak-anak yang harus dihargai apapun kondisi mereka. “Mereka ini bernilai dalam diri mereka, karena mereka bermartabat.”

Masyarakat perlu memiliki paradigma yang benar untuk memahami keberadaan anak-anak yang termarjinalkan ini yang terlempar ke jalanan bukan karena salah mereka.

Doni menjelaskan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, proses komunikasi dan interaksi tidak lepas dari unsur kekuasaan, kekuatan (power). Ada beberapa pola relasi yang terbentuk. Pertama, ada pola relasi yang sifatnya zero sum game. Kalah atau menang. Aku lebih baik dari kamu. Kamu tidak sama dengan aku. Bahkan sampai titik, kamu bukan kami. Kamu tidak termasuk dalam golongan kami. Kami dan kami berbeda. Kita berbeda. Unsur kekuasaan sangat dominan.

Kedua, kamu sama dengan aku. Kamu adalah bagian dari aku, aku bagian dari kamu. Tidak ada kata kami, melainkan kita. Artinya, kebersamaan yang mendasarkan diri pada penghargaan terhadap kesetaraan, kesamaan. Ingat, kata setara, berasal dari kata tara, yang artinya ukuran. Kita semua sama di hadapan Tuhan, yaitu ciptaan di hadapan Sang Pencipta.

Dalam konteks ini, tokoh filsuf moral, Immanuel Kant, menyatakan bahwa salah satu prinsip moral dasar yang berlaku dalam kehidupan adalah hargailah individu itu berharga dalam dirinya sendiri, dan jangan pernah menganggap orang lain sebagai alat demi kepentinganmu sendiri. Atau sederhananya, kita dilarang memperalat, menjadikan orang lain sebagai alat bagi kepentingan dan pamrih kita.

Pola ketiga, kita ini setara dan memiliki tugas dan tanggungjawab membangun kemanusiaan melalui kolaborasi yang lebih baik, mengatasi batas-batas suku, ras, dan agama kita. Komunikasi ini lebih tinggi, karena kesamaan bisa jadi masih memisahkan individu berdasarkan kelompok, aliran, agama, dan hanya toleransi yang berlaku. Toleransi adalah meringankan beban yang lain. Padahal yang dibutuhkan adalah persamaan pandangan bahwa tiap manusia luhur, dan keluhuran ini tercermina dalam kemampuannya mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan itu sendiri.

Kemiskinan, yang membawa penderitaan bukanlah kehendak Tuhan, tapi ini terjadi karena sistem sosial dan pola komunikasi dan interaksi yang timpang antar manusia. Kemiskinan, kebodohan, bukanlah takdir. Karena kemiskinan dan kebodohan merendahkan martabat manusia. Manusia yang luhur, menyadari keluhurannya, kemartabatannya karena sebagai manusia, setiap orang memiliki kemartabatan yang sama.

Yayasan Dilt mengangkat anak-anak ini menjadi individu yang punya kepercayaan diri dan menyadari keluhuran martabatnya. Diena Haryana memiliki kedekatan khusus dengan Dilt Foundation. Partner awal Sejiwa adalah Dilt Foundation. Kami melihat ada yayasan yang melayani anak-anak yang termajinalkan. “Akhirnya kami berkenalan dan jatuh cinta dengan Dilt karena mereka menganggap anak-anak ini seperti keluarga dan melayani dengan penuh kasih. Apa yang dilakukan Dilt adalah apa yang terbaik yang pernah saya lihat,” kisah Diena.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *