Jakarta, PendidikanKarakter. Misi saya dalam hidup adalah membuat orang lain tersenyum, ujar Ara Kusuma, inovator muda yang saat ini menjadi manajer Youth Program Yayasan Ashoka dalam sesi berbagi di Bincang Sejiwa#5 (28/06).

Ara, demikian dipanggil, sejak usia belia sudah memiliki keprihatinan besar pada perbaikan kehidupan masyarakat di sekitarnya. “Saya pada mulanya menyukai sapi. Dari kesukaan tentang sapi ini saya belajar banyak hal, mulai tentang sapinya sendiri, sampai ke hal-hal yang terkait dengan sapi, seperti peternak sapi.

Ara Kusuma merupakan change maker muda pilihan Yayasan Ashoka. Kecintaannya terhadap susu sapi, sapi, dan segala manfaat yang diberikan sapi kepada manusia telah mendorong rasa ingin tahunya untuk memahami lebih jauh tentang sapi dan kaitannya dengan kehidupan manusia.

Ketertarikan ini berkembang menjadi sebuah perjalanan mengunjungi peternakan dan desa-desa untuk mengenal sapi lebih dekat. Di peternakan yang dikunjunginya, ia melihat ada 1.500 ekor sapi yang dikelola dengan elok dan terintegrasi. Namun, pelajaran ini tidak ia dapatkan ketika mengunjungi tempat lain. Realita ini belum terlihat di desa yang ia kunjugin di mana pengelolaan sapi masih dilakukan secara individual baik proses pengolahan susunya maupun kotoran yang dihasilkan.

Berbekal ‘empati’ dan ‘kreativitas’, Ara kecil berusia 10 tahun, memimpikan sebuah desa dengan pengelolaan sapi yang terintegrasi dan ramah lingkungan untuk membahagiakan sapi dan peternak yang terlibat di dalamnya. Maka, lahirlah Moo’s Project untuk membantu peternak tradisional agar lebih maju. Ia menginspirasi para peternak yang rata-rata adalah pria dewasa, untuk melakukan perubahan ke cara-cara baru yang lebih mengoptimalkan sumber daya yang ada.

Ara Kusuma, pendiri Moo’s Project dan Aha-Project

Apakah mudah anak kecil berbicara dengan orang dewasa? “Tentu tidak,” kenang Ara. Ia menceritakan bahwa ketika ia berbicara dengan para orang dewasa yang sebagian besar laki-laki, ada perasaan tidak percaya pada orang-orang itu karena yang berbicara di depannya adalah anak kecil. Namun, Ara tidak kehilangan akal. “Saya melihat, bapak-bapak hanya bisa memahami dengan baik kalau yang berbicara adalah bapak-bapak, demikian juga dengan ibu-ibu. Maka, saya meminta ayah, ibu, tante, om, untuk membantu saya menjelaskan pada masyarakat tentang gagasan saya. Sedangkan saya sendiri, mulai mendekati anak-anak untuk memperkenalkan pengetahuan tentang sapi,” jelas Ara.

Sikap dalam diri Ara ini muncul ketika ia berani melihat ke luar, ke realitas dunia. Bukan melihat diri kita sendiri. “Kita perlu melihat dari luar, merasakan apa yang terjadi di luar sana, lamu berempati. Dengan memiliki empati, kita bertanya untuk menumbuhkan ide-ide baru demi kepentingan bersama. Harus ada keberanian untuk memulai sesuatu,” ungkap Ara mengisahkan awal mula keprihatinannya.

“Jangan lupa untuk berbagi, sharing, dan berani memulai.”

Adanya kegagalan dan keberhasilan telah menyadarkannya tentang pentingnya dukungan sistem. “Kita tidak bisa jalan sendiri. Kita butuh bekerja sama dengan teman, dengan peternak, orang tua, kakak adik, agar bisa menyemangati dan berkolaborasi. Kita perlu menghargai peranan satu sama lain.”

Aha proyek yang dikembangkan Ara juga dimulai dari prinsip yang sama, yaitu melalui empati. “Tadinya saya hanya melihat layar hp, tapi sekarang saya melihat ke dunia luar untuk melihat apa yang terjadi. Saat itu saya melihat anak yang pergi naik truk, pergi sepulang sekolah naik truk, tak jelas ngapain. Ada jutaan anak indonesia yang tak memiliki infrastruktur pendidikan. Maka muncullah ide untuk membuat Aha project,” kisah Ara mengenang awal mula dia membuat Aha Project.

“Tujuan Aha Project adalah untuk membantu setiap anak menjadi pembelajar mandiri dan menemukan Aha nya sendiri. Jadi bukan masalah lembar kerja yang saat ini banyak dibagikan di sekolah-sekolah dan anak-anak di daerah tertinggal.”

Bagi Diena, Pendiri Yayasan Sejiwa, dalam diri Ara sungguh tercermin 4 ciri kepemimpinan. “Sejak kecil Ara sudah memiliki sikap melihat ke depan (forward looking). Ia juga memiliki kemampuan untuk dapat dipercaya oleh orang lain. Ia memiliki kredibilitas. Ara juga mampu menginspirasi orang lain. Sejak kecil ia sudah melihat bagaimana orang tuanya membantu masyarakat. Ini membentuk Ara. Yang terakhir, ia memiliki kompetensi. Ini masuk dalam keterampilan dan pengetahuan. Intinya, Ara menggunakan panca indera untuk menyelesaikan persoalan.”

Pemerhati pendidikan, Doni Koesoema A mengatakan bahwa kemampuan mengubah dunia ini tidak tergantung dari usia. “Visi transformasi ini terbentuk dalam diri siapapun yang tekun merefleksikan kehidupan dan mencari solusi atas persoalan yang dihadapi,” ujarnya.

Pendidikan karakter tak lain adalah sebuah keyakinan bahwa individu itu dapat membaktikan dirinya pada nilai-nilai. Dengan keyakinan ini ia mengubah dunia. Ara yakin, bahwa masyarakat bisa menjadi lebih baik kalau dapat memahami pengolahan sapi secara terintegrasi. Inilah nilai-nilai yang diperjuangkan Ara.

“Dari Ara kita belajar bahwa siapapun bisa menjadi pelaku perubahan di dalam masyarakat. Inilah esensi pembentukan karakter. Kita bisa mengubah dari yang buruk menjadi lebih baik. Tapi akan lebih bagus lagi kalau kita bisa mengubah dari yang baik menjadi lebih baik. Karena di sinilah karakter luhur itu terbentuk,” pungkas Doni.

Bincang Sejiwa, menumbuhkan karakter dan kebajikan seri-5. Ikuti setiap Minggu jam 15.00

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *